Membaca Politik Aceh di Jalan Raya

APA hubungannya politik dengan jalan raya? Jika anda sedang mudik dari Banda Aceh, tentu tak sulit menarik benang merahnya.

Selasa, 6 Agustus lalu, saya pulang kampung ke Simpang Mulieng, Aceh Utara, menggunakan sepeda motor.  Sudah lebih sepuluh tahun saya tak pernah pulang kampung dengan sepeda motor.  Terakhir kali, ketika masih duduk di bangku kuliah dulu. Untuk sampai di kampung, saya melintasi   6 kabupaten dan kota: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara. Butuh waktu sekitar 7 jam perjalanan untuk sampai di kampung.

Melaju di atas sepeda motor, mata saya dengan leluasa menangkap pemandangan di kiri kanan jalan. Selain pemandangan alam berupa areal persawahan yang diselingi perbukitan di beberapa tempat, ada satu hal yang menarik mata saya: umbul-umbul politik.

Sepanjang jalan saya menemukan banyak sekali atribut partai, mulai dari ucapan selamat puasa dan idul fitri dari para calon anggota legislatif, hingga bendera partai yang berkibar melambai.

Di antara para caleg yang pamer wajah di spanduk-spanduk yang dibentang, di beberapa titik terselip juga gambar tokoh nasional. Di Padang Tiji, Pidie,  pada sebuah baliho, ada wajah Yusril Ihza Mahendra mengenakan kopiah. Di bawahnya, ada wajah dua caleg dari Partai Bulan Bintang. Seperti yang lain, mereka juga masih mengucapkan selamat berpuasa, meski hari raya tinggal dua hari lagi.

Tokoh nasional lain yang sempat tertangkap mata saya adalah Ketua Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono, bos Gerindra Prabowo Subianto, Wiranto dan Hari Tanoe, Surya Paloh (Nasdem), Aburizal Bakrie (Golkar), serta Ketua PAN Hatta Radjasa. Di Aceh, semua mereka mengenakan kopiah.

Yang menarik, saya tak menjumpai foto Prabowo yang berdiri sendiri. Fotonya muncul pada spanduk calon anggota legislatif dari partai Gerindra. Caleg tersebut menduetkan foto Prabowo dengan Muzakir Manaf, Ketua Umum Partai Aceh (partai lokal). Posisinya kira-kira begini: Foto Prabowo dan Muzakir Manaf  --biasa disapa Mualem-- di sisi kiri, di bagian tengah ucapan selamat puasa, dan di sisi kanan foto sang caleg.

Saya tak tahu persis mengapa foto Prabowo diduetkan dengan Mualem. Bisa jadi si caleg ingin mengatakan dua tokoh tersebut berkoalisi. Bisa jadi juga si caleg tak percaya diri sehingga merasa perlu menampilkan foto kedua tokoh itu. Hampir semua spanduk para caleg dari Gerindra yang tertangkap mata saya, menggunakan format yang sama. Ini saya temukan mulai dari Lambaro hingga Lhokseumawe.

Jika pada spanduk caleg dari Gerindra muncul foto Mualem, pada spanduk para caleg dari Partai Aceh, saya tidak menemukan ada yang memasang foto Prabowo. Mereka lebih memilih memunculkan gambar tuha peuet partai: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Zakaria Saman. Satu dua caleg ada yang memasang foto almarhum Hasan Tiro yang diposisikan berdisi samar-samar di belakangnya.

Selain spanduk caleg, berkibar pula bendera partai. Yang paling mencolok mata adalah bendera Partai Aceh. Ini saya temukan hampir di sepanjang jalan. Merah meriah. Sedangkan bendera partai lain, tidak terlalu banyak.

Masuk di kawasan Peusangan,Bireuen, bendera partai yang muncul lebih berwarna. Bendera salah satu partai lokal berwarna oranye yang sebelumnya hanya terlihat beberapa helai, muncul lebih banyak di Peusangan. Di sini, bendera oranye  hampir sama banyaknya dengan bendera merah-hitam-putih khas Partai Aceh.

Keduanya berdiri selang seling. Apakah itu pertanda partai berbendera oranye berkuasa di Peusangan? Entahlah. Yang pasti, kawasan itu adalah daerah asal salah satu pendiri partai berbendera oranye itu.

Kisruh bendera Aceh yang memanas menjelang 17 Agustus, membuat mata saya juga celingak-celinguk ingin tahu: adakah bendera itu masih berkibar?

Pertengahan Juni lalu, ketika melaju  dari Banda Aceh menuju Bireuen, saya sempat terkesima melihat bendera bulan bintang beragam ukuran berkibar di pinggir jalan. Bendera-bendera itu saya temukan mulai dari Pidie hingga Peusangan, Bireuen. Di beberapa tempat, bendera ukuran besar diikat di kayu dari batang pinang yang telah dicat.

Namun, ketika dalam perjalanan pulang pada 6 Agustus kemarin, bendera-bendera itu telah raib. Satu-satunya bendera bulan bintang yang sempat terdeteksi mata saya ada di tengah sawah di kawasan Samalanga.

Bendera itu diikat pada sepotong kayu setinggi tak lebih dari satu meter, dan berkibar-kibar di antara daun padi nan hijau.  Di simpang jalan masuk menuju Samalanga, bendera bulan bintang ukuran raksasa telah berganti  rupa menjadi bendera Partai Aceh dengan ukuran yang sama.

Di jembatan Peudada, dua bendera Aceh yang dipasang berbarengan dengan bendera merah putih telah raib. Yang tersisa hanya merah putih yang berkibar-kibar di bagian tengah.

Tujuh jam di jalan, saya akhirnya tiba di kampung. Sebelum pulang ke rumah, saya sempat mencari tahu apakah bendera Aceh yang sempat berkibar beberapa bulan lalu masih di tempatnya atau tidak. Posisinya persis di tepi jalan. Ternyata, bendera itu pun sudah tak ada lagi di tempatnya.

Saya mencoba mencari tahu apakah penurunan bendera itu memakan korban seperti di Panton Labu. Alhamdulillah, dari beberapa teman saya dapat informasi tak ada korban yang jatuh.

Begitulah, kondisi politik Aceh ternyata tak jauh-jauh dari jalan raya. Seperti para caleg itu, saya juga ingin mengucapkan “Selamat  uroe raya Idul Fitri. Meu’ah lahee baten.”

Tulisan ini dimuat atjehpost.com, 7 Agustus 2013.
APA hubungannya politik dengan jalan raya? Jika anda sedang dalam perjalanan mudik dari Banda Aceh, tentu tak sulit menarik benang merahnya.
Selasa, 6 Agustus lalu, saya pulang kampung ke Simpang Mulieng, Aceh Utara, menggunakan sepeda motor.  Sudah lebih sepuluh tahun saya tak pernah pulang kampung dengan sepeda motor.  Terakhir kali, ketika masih duduk di bangku kuliah dulu. Untuk sampai di kampung, saya melintasi   6 kabupaten dan kota: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara. Butuh waktu sekitar 7 jam perjalanan untuk sampai di kampung.
Melaju di atas sepeda motor, mata saya dengan leluasa menangkap pemandangan di kiri kanan jalan. Selain pemandangan alam berupa areal persawahan yang diselingi perbukitan di beberapa tempat, ada satu hal yang menarik mata saya: umbul-umbul politik.
Sepanjang jalan saya menemukan banyak sekali atribut partai, mulai dari ucapan selamat puasa dan idul fitri dari para calon anggota legislatif, hingga bendera partai yang berkibar melambai.
Di antara para caleg yang pamer wajah di spanduk-spanduk yang dibentang, di beberapa titik terselip juga gambar tokoh nasional. Di Padang Tiji, Pidie,  pada sebuah baliho, ada wajah Yusril Ihza Mahendra mengenakan kopiah. Di bawahnya, ada wajah dua caleg dari Partai Bulan Bintang. Seperti yang lain, mereka juga masih mengucapkan selamat berpuasa, meski hari raya tinggal dua hari lagi.
Tokoh nasional lain yang sempat tertangkap mata saya adalah Ketua Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono, bos Gerindra Prabowo Subianto, Wiranto dan Hari Tanoe, Surya Paloh (Nasdem), Aburizal Bakrie (Golkar), serta Ketua PAN Hatta Radjasa.
Yang menarik, saya tak menjumpai foto Prabowo yang berdiri sendiri. Fotonya muncul pada spanduk calon anggota legislatif dari partai Gerindra. Caleg tersebut menduetkan foto Prabowo dengan Muzakir Manaf, Ketua Umum Partai Aceh. Posisinya kira-kira begini: Foto Prabowo dan Mualem di sisi kiri, di bagian tengah ucapan selamat puasa, dan di sisi kanan foto sang caleg.
Saya tak tahu persis mengapa foto Prabowo diduetkan dengan Mualem. Bisa jadi si caleg ingin mengatakan dua tokoh tersebut berkoalisi. Bisa jadi juga si caleg tak percaya diri sehingga merasa perlu menampilkan foto kedua tokoh itu. Hampir semua spanduk para caleg dari Gerindra yang tertangkap mata saya, menggunakan format yang sama. Ini saya temukan mulai dari Lambaro hingga Lhokseumawe.
Jika pada spanduk caleg dari Gerindra muncul foto Mualem, pada spanduk para caleg dari Partai Aceh, saya tidak menemukan ada yang memasang foto Prabowo. Mereka lebih memilih memunculkan gambar tuha peuet partai: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Zakaria Saman. Satu dua caleg ada yang memasang foto almarhum Hasan Tiro yang diposisikan berdisi samar-samar di belakangnya.
Selain spanduk caleg, berkibar pula bendera partai. Yang paling mencolok mata adalah bendera Partai Aceh. Ini saya temukan hampir di sepanjang jalan. Merah meriah. Sedangkan bendera partai lain, tidak terlalu banyak.
Masuk di kawasan Peusangan,Bireuen, bendera partai yang muncul lebih berwarna. Bendera berwarna oranye yang sebelumnya hanya terlihat beberapa helai, muncul lebih banyak di Peusangan. Di sini, bendera oranye  hampir sama banyaknya dengan bendera merah-hitam-putih khas Partai Aceh.
Keduanya berdiri selang seling. Apakah itu pertanda partai berbendera oranye berkuasa di Peusangan? Entahlah. Yang pasti, kawasan itu adalah daerah asal salah satu pendiri partai berbendera oranye itu.
Kisruh bendera Aceh yang memanas sepekan terakhir, membuat mata saya juga celingak-celinguk ingin tahu: adakah bendera itu masih berkibar?
Pertengahan Juni lalu, ketika melaju  dari Banda Aceh menuju Bireuen, saya sempat terkesima melihat bendera bulan bintang beragam ukuran berkibar di pinggir jalan. Bendera-bendera itu saya temukan mulai dari Pidie hingga Peusangan, Bireuen. Di beberapa tempat, bendera ukuran besar diikat di kayu dari batang pinang yang telah dicat.
Namun, ketika dalam perjalanan pulang pada 6 Agustus kemarin, bendera-bendera itu telah raib. Satu-satunya bendera bulan bintang yang sempat terdeteksi mata saya ada di tengah sawah di kawasan Samalanga.
Bendera itu diikat pada sepotong kayu setinggi tak lebih dari satu meter, dan berkibar-kibar di antara daun padi nan hijau.  Di simpang jalan masuk menuju Samalanga, bendera bulan bintang ukuran raksasa telah berganti  rupa menjadi bendera Partai Aceh dengan ukuran yang sama.
Di jembatan Peudada, dua bendera Aceh yang dipasang berbarengan dengan bendera merah putih telah raib. Yang tersisa hanya merah putih yang berkibar-kibar di bagian tengah.
Tujuh jam di jalan, saya akhirnya tiba di kampung. Sebelum pulang ke rumah, saya sempat mencari tahu apakah bendera Aceh yang sempat berkibar beberapa bulan lalu masih di tempatnya atau tidak. Posisinya persis di tepi jalan. Ternyata, bendera itu pun sudah tak ada lagi di tempatnya.
Saya mencoba mencari tahu apakah penurunan bendera itu memakan korban seperti di Panton Labu. Alhamdulillah, dari beberapa teman saya dapat informasi tak ada korban yang jatuh.
Begitulah, kondisi politik Aceh ternyata tak jauh-jauh dari jalan raya. Seperti para caleg itu, saya juga ingin mengucapkan “Selamat  uroe raya Idul Fitri. Meu’ah lahee baten.”
- See more at: http://www.atjehpost.com/saleum_read/2013/08/07/62059/77/3/Membaca-politik-Aceh-di-jalan-raya#sthash.Hol0vIhJ.dpuf

Komentar