Menulis kisah, membagi inspirasi

MEMORI otak saya mengenang peristiwa itu seolah baru terjadi kemarin. Kisah itu selalu hidup di ingatan saya. Padahal, kejadiannya sudah lebih 20 tahun lalu. Di atas balai-balai berdinding kayu, Mi Nek dengan penuh semangat bercerita tentang kisah hidup Rasulullah Muhammad SAW. Juga tentang sifat-sifat yang harus kita teladani dari Rasulullah. Mi Nek bercerita sambil memegang sebuah buku.

Mi Nek adalah guru ngaji di kampung saya, sebuah desa di Aceh Utara. Ia perempuan hebat. Tubuhnya gemuk. Kalau bercerita, ia sering menyisipkan pesan-pesan moral. Bersama almarhum suaminya, Mi Nek mendirikan sebuah balai pengajian, tempat anak-anak di kampung saya mengaji. Ketika suaminya meninggal, Mi Nek tetap melanjutkan mendidik anak-anak di kampung kami mengaji.

Di lain waktu, Mi Nek berkisah tentang tentang para Nabi yang lain. Tentang Nabi Yusuf yang ganteng dan imannya kuat meski digoda wanita, tentang Nabi Ibrahim yang menyembelih anaknya sendiri karena cintanya kepada Allah, juga para nabi yang lain.

Kisah-kisah yang saya dapat dari masa kecil itu hingga kini masih membekas di benak saya, walau sebagian ada terlupakan karena “berebut tempat” dengan memori lain.

Ketika duduk di sekolah dasar, saya sering membaca koran di warung kopi. Kadang-kadang berebutan dengan orang dewasa. Tak jarang koran di tangan saya tiba-tiba direbut oleh orang dewasa sambil berkata,"aneuk manyak pih baca koran, jak pileh boh sidom keudeh (anak kecil pun baca koran, pergi cari telur semut sana)."

Itu terjadi sekitar tahun 1985-1990, ketika saya berusia 7-12 tahun. Saya ingat benar, setiap hari minggu sekitar jam 10 saya sudah bersiap-siap di warung kopi, menunggu koran tiba. Kenapa hari Minggu? Karena koran Waspada --satu-satunya koran yang masuk ke kampung saya waktu itu -- punya halaman yang memuat cerita anak-anak. Saya tak akan pulang ke rumah sebelum habis membaca halaman cerita anak-anak itu.

Sejak kecil saya senang membaca cerita. Ayah saya yang seorang guru Sekolah Dasar sering membawa pulang buku-buku cerita, juga majalah Bobo. Dari majalah anak-anak itu saya mengenal tokoh Paman Janggut, Bona si gajah kecil berbelalai panjang, dan Oki si kurcaci yang berteman yang dengan Nirmala, sang peri baik hati.

Cerita lain yang masih melekat di ingatan adalah kisah detektif cilik Lima Sekawan karya Enid Blyton. Membaca buku itu saya seperti diajak berpetualang mengungkap ragam misteri. Wah, pokoknya asyik sekali.

Kebiasaan membaca cerita anak-anak itulah, saya kira, yang membuat saya menjadi penulis. Ketika duduk bangku kelas 1 SMA, tulisan pertama saya masuk koran Serambi Indonesia. Tulisan itu tentang cerita anak-anak. Saya lupa judulnya. Itu terjadi tahun 1993.

Wah, senang betul rasanya. Saya tiba-tiba saja merasa menjadi orang hebat gara-gara nama saya terpampang di koran. Abu Wa saya memuji setinggi langit. Katanya, saya hebat sekali karena namanya muncul di koran. Belakangan saya sadar, itu adalah caranya memotivasi saya agar tetap menulis.
***
Kita hidup dengan cerita. Dari kecil, remaja, hingga dewasa. Rasanya tak ada hari tanpa cerita. Sumber ceritanya bisa jadi dari teman, orang tua, bahkan orang yang sama sekali belum kita kenal ketika berjumpa dalam sebuah bus.

Cerita-cerita itu ada yang membekas di ingatan, tapi tak sedikit juga yang berlalu begitu saja. Biasanya, yang bikin kita terkenang-kenang apabila ceritanya menyentuh hati. Atau tentang sosok teladan seperti kisah hidup Rasullah yang dikisahkan oleh Mi Nek, guru ngaji saya waktu kecil.

Apa yang bisa kita simpulkan dari kisah masa kecil saya? Saya menduga (tidak terlalu yakin juga soalnya hehe..) karakter dan profesi saya hari ini  terbentuk dari kecil. Enyd Blyton lewat kisah Lima Sekawan-nya sedikit banyaknya berkontribusi membuat saya sampai sekarang menikmati profesi sebagai wartawan, walau terkadang menyerempet-nyerempet bahaya.

Masalahnya, kisah menarik tidak akan “bunyi” jika tidak ada yang menuliskan. Jika diceritakan secara lisan, hanya akan didengar oleh beberapa orang saja. Artinya, yang dipengaruhi oleh cerita itu pun hanya segelintir orang.

Banyak kisah-kisah menarik dan menginspirasi pada akhirnya tenggelam begitu saja karena tidak ditulis. Tak ada jejak yang ditinggalkan. Kisah tentang keteladanan para Nabi, barangkali tak akan pernah kita tahu jika tidak ada yang menuliskannya.

Bagaimana membangun sebuah cerita yang menarik?

Bulan Juni lalu, saat memberi materi penulisan kepada sejumlah mahasiswa FISIP Universitas Al-Muslim di Bireuen, saya ditanya hal serupa.

Saya jawab: setiap orang punya kisah dalam hidupnya. Setiap kita punya cerita. Hanya saja, seringkali kita tidak menyadari bahwa cerita itu terkadang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.

Pertanyaan berikutnya: bagaimana menjadi seorang penulis yang bagus? Saya jawab: tidak cara lain selain memulai menulis.

Masalahnya, sering kali rencana menulis sesuatu akhirnya batal terwujud gara-gara kita sibuk berpikir tentang tanggapan orang. Tulisanku ini sudah bagus belum ya? Wah, pasti malu rasanya jika dikritik orang.

Pikiran-pikiran semacam itulah yang menjadi faktor penghambat orang untuk mulai menulis. Padahal, kritikan justru perlu. Tulisan akan menjadi lebih kuat setelah mendapat banyak masukan. Bisa saja masukan yang berikan tak terpikirkan oleh kita sebelumnya. Makin sering tulisan anda dikritik, makin banyak pelajaran yang bisa diambil.

Hal lain yang perlu dilakukan agar bisa menulis adalah membaca. Dengan membaca, biasanya akan lahir ide-ide untuk menulis. Setidaknya, kita bisa belajar bagaimana seorang penulis membangun plot tulisan dari membaca tulisannya.

***
Kekuatan sebuah cerita kini juga masuk ke dunia bisnis. Storytelling, istilahnya. Lewat kisah-kisah pengalaman seseorang pengguna produk tertentu, sebuah perusahaan mencoba mempengaruhi pemikiran orang lain agar menggunakan produk serupa.

Karena itu, ayo kita berbagi cerita. Siapa tahu, cerita anda akan mengilhami orang lain. Kalau pun tidak, toh tidak ada ruginya bukan?[]

catatan: tulisan ini juga dipublikasikan di media warga atjehtoday.com, 8 September 2013

Komentar