Masjid di Aceh ini dibangun di atas pertapakan kuil Hindu


Dibangun di atas pertapakan kuil, masjid ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam.


Meskipun disebut-sebut sebagai daerah yang menyebarkan Islam ke seantero nusantara,  Provinsi Aceh ternyata masih menyimpan jejak sejarah pra Islam. Salah satunya adalah sebuah masjid di Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.

Terletak sekitar 40 kilometer dari Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh, masjid itu dibangun di atas pertapakan kuil Hindu. Pada bulan Ramadan seperti sekarang, masjid kuno itu ramai dikunjungi orang. Sambil beribadah, mereka juga bisa merasakan aura sejarah di masjid itu.

Ketika saya berkunjung ke sana beberapa hari lalu, masjid itu masih kokoh berdiri. Di depannya ada sebuah pamplet yang menyebutkan masjid itu sebagai benda purbakala yang dilindungi pemerintah.

Berdiri di depan masjid, saya langsung terbayang pura di Bali. Sekelilingnya dipagari tembok kokoh dan berlumut setinggi kurang lebih empat meter. Tembok inilah yang disebut sebagai pertapakan pura. Di bagian atasnya berdiri kubah masjid dengan konstruksi kayu. Bentuknya tak lazim: bertingkat-tingkat dan kian mengerucut ke atas. Disebut tak lazim, karena hampir semua masjid di Aceh menggunakan kubah setengah lingkaran yang melengkung di bagian atasnya. Logo bulan bintang yang biasanya terdapat di sebagian besar masjid di Aceh, tak ditemukan di masjid ini.

Sejarahwan yang juga mantan Gubernur Aceh almarhum Profesor Ali Hasymy dalam salah satu bukunya menyebut bangunan itu telah ada di sana jauh sebelum Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam.

Menaiki anak tangga, tepat di depan pintu masuk terbuat dari besi setinggi 50 sentimeter, ada sebuah kolam untuk membilas kaki. Di sebelahnya, terdapat bak air tempat wudhu. Di dalam masjid, ada 36 tiang penyangga dari kayu yang terlihat kokoh.

 Sore itu saya beruntung bertemu dengan Teungku Safii Zamzami. Ia adalah Imam masjid Indrapuri.

"Dahulu Indrapuri adalah kawasan kerjaaan Hindu. Benteng masjid ini juga merupakan satu kesatuan dengan benteng indrapatra di Ladong, dan benteng Indrapurwa di Lembadeuk Peukan Bada," kata Tengku Safi'i.

Menurut Tengku Safi'i, ada dua versi cerita yang berkembang tentang masjid itu. Versi pertama, kata dia, kuil berbentuk benteng itu dibangun oleh ratu keluarga kerajaan Harsha dari India yang melarikan diri ke Aceh setelah kalah perang di negerinya pada tahun 604 Masehi.

Sedangkan versi lainnya menyebutkan, kuil itu dibangun sejak abad 10 Masehi dan merupakan peninggalkan kerajaan Poli yang kemudian disebut sebagai kerajaan Lamuri oleh bangsa Arab.

Masih berdasarkan cerita Teungku Safii, ketika itu seorang ulama dari Peurelak bernama Abdullah Kan’an bersama Meurah Johan dari Kerajaan Lingga mencoba mengajak raja beserta rakyat Lamuri untuk memeluk Islam.

Saat itu, Lamuri sedang diserang gerombolan bajak laut dari China yang dipimpin seorang wanita cantik nan bengis. Orang-orang menyebutnya Putroe Neng. Mereka berniat menguasai lamuri yang berada di jalur perdagangan internasional.

Kedua ulama itu lalu menawarkan bantuan melawan Putroe Neng. Lewat perang yang berdarah-darah gerombolan bajak laut itu berhasil diusir.

“Sebagai balas jasa terhadap Teungku Abdullah dan Meurah Johan, Raja Lamuri akhirnya memeluk Islam. Dia juga memerintahkan rakyatnya meninggalkan hindu dan meruntuhkan masjid tempat peribadatan mereka, termasuk pura yang kini telah menjadi masjid ini,” kata Teungku Safii.

Jejak kerajaan hindu di Aceh juga dapat ditelusuri dari sebuah pekuburan hindu di Desa Tanoh Abei, tak jauh dari pasar Indrapuri. Selain itu, di kawasan Krueng Raya, sekitar 30 kilometer dari Banda Aceh, saat ini juga masih berdiri sebuah benteng yang dinamai benteng Indrapatra.

Cerita Teungku Safii ini tak jauh beda dengan yang dinukilkan oleh Profesor Ali Hasymy. Menurutnya, ketika Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda, masjid itu dipugar lebih luas dengan ukuran 18,8 x 48,8 meter. Selain sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai pusat pendidikan agama, politik dan ekonomi.

Di masjid ini pula, Muhammad Daud Syah dilantik sebagai Sultan Aceh yang terakhir (1874). Dari masjid ini pula, banyak ulama besar dan para pemikir Aceh muncul. “Saat prosesi pelantikan Sultan Muhammad Daud Syah, disebutkan Indrapuri sebagai ibu kota Kesultanan Aceh,” kata Sulaiman, salah satu pengurus masjid yang lain.

“Masjid ini juga pernah digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam selama beberapa bulan, sebelum akhirnya dikuasai Belanda dan pusat kerajaan berpindah ke Keumala, Pidie,” sambung Teungku Safii.

Sebuah foto yang disimpan oleh situs tropenmuseum Belanda memperlihatkan sejumlah opsir Belanda berfoto di depan masjid itu. 

Dipercaya menyimpan patung Hindu

Ada sebuah cerita menarik tentang masjid ini. Teungku Safii pernah didatangi seorang warga Bali yang meyaniki di bawah masjid itu masih terdapat patung-pantung keninggalan kerajaan hindu.  

“Orang itu bersujud dibawah tempat yang diperkirakannya masih terdapat patung hindu,” katanya.

Menurut Tengku Safii, meskipun telah beberapa kali dipugar, namun bentuk asli masjid itu masih dipertahankan. Bahkan, kata dia, pemerintah melarang pengurus masjid mengecat dinding tembok di sekeliling masjid. Alasannya, dikhawatirkan akan menghilangkan wujud aslinya.

Sore itu, saya menunaikan salat zuhur di masjid bersejarah itu. []

Komentar